jadwal sholat

proud to be a muslim

Rabu, 26 Oktober 2011

"Bahaya yahudi menguasai Pers dan media massa lain di dunia"



WASPADA MEDIA MASSA YANG DIDIOMINASI YAHUDI!!!
Cita-cita Yahudi untuk menggenggam dunia nampaknya hampir terkabul. Media massa, sebagai sarana efektif dalam menyampaikan pesan kepada khalayak, berhasil dimiliki Yahudi. Itu sebabnya opini dunia selalu menguntungkan mereka dan merugikan umat Muslim. Apa yang bisa dilakukan kaum muslimin?
Jangan kaget kalo apa yang kamu baca, kamu dengar, dan kamu lihat nyaris semuanya dikendalikan kaum Yahudi. Nggak percaya? Di jalur media massa ini, Yahudi berhasil menyebarkan informasi yang cenderung menguntungkan mereka, baik dari segi bisnis maupun politis. Koran, majalah, tabloid, radio, bahkan televisi dan perusahaan film di Amerika di bawah kendali Yahudi. Jaringan mereka pun tersebar luas di seluruh dunia. Mantan wartawan Jawa Pos biro Washington DC, Djoko Susilo yang pernah tinggal di Amerika selama 4 tahun mengaku bila hampir semua media massa yang berpengaruh di Amerika semuanya dipegang orang-orang Yahudi. Walah?
KartelOpini
Sobat muda, jaringan mereka cukup kuat juga. Di bisnis penerbitan buku, tercatat ada tiga penerbit kaliber raksasa dan cukup berpengaruh; Random House, Simon & Schuster, dan Time Inc. Book Co. Semuanya dimiliki pemodal Yahudi. Pimpinan eksekutif Simon & Schuster, Richard Snyder dan ketuanya Jeremy Kaplan, keduanya orang Yahudi. Malah di luar penerbit yang tiga di atas, Western Publishing tercatat ada pada peringkat paling atas, yang menerbitkan buku-buku untuk anak-anak, dengan pangsa pasar yang dikuasainya 50 persen dari pangsa pasar buku untuk anak-anak yang ada di dunia. CEO Western Publishing adalah Richard Bernstein, seorang Yahudi.
Media massa sebagai agent of change
Mc.Luhan, penulis buku Understanding Media: The Extensive of Man, menyebutkan bahwa media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Yup, dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan media massa adalah realitas yang sudah diseleksi. Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lainnya. Surat kabar pun, melalui proses yang disebut “gatekeeping� lebih banyak menyajikan berbagai berita tentang “darah dan dada� (blood and breast) dari pada tentang contoh dan teladan. Itu sebabnya, kita nggak bisa, atau bahkan nggak sempat untuk mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media. Boleh dibilang, kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa.
Televisi misalnya, kerap kali menyajikan tayangan kekerasan, dan itu membuat pemirsa televisi menganggap bahwa dunia ternyata lebih keras. Begitu pula ketika sebuah film ditonton, yang, biasanya dengan misi tertentu dari pembuatnya, akan memberikan kesan tersendiri bagi penontonnya. Film?  Eraser misalnya, film laga yang dibintangi mantan binaragawan asal Austria, Arnold Schwarzenegger â€?menyisipkan pesan sekilas’ bahwa Hamas di Palestina adalah Teroris. Bisa diduga akibatnya, jika kemudian opini masyarakat tentang Hamas menjadi jelek. Belum lagi Film Schindler’s List besutan sutradara berdarah Yahudi, Steven Spielbergh, yang juga pernah menyutradarai film Jurassic Park,?  berhasil memanipulasi perasaan masyarakat dunia. Lewat film tersebut, kebencian terhadap kaum Yahudi berubah menjadi empati dan simpati. Inilah kekuatan sebuah media massa. Dahsyat!
Jadi nggak heran juga jika majalah TIME, dalam situs internet time.com edisi 17 September 2002 menurunkan berita yang menghebohkan tentang pengakuan Omar al-Faruq mengenai adanya jaringan terorisme al-Qaidah di Indonesia. Pada waktu bersamaan, CNN.com edisi 17 September 2002 menurunkan dua berita sekaligus, yaitu tentang adanya gerakan Islam fundamentalis di Asia Tenggara untuk mendirikan “Super State� dan berita tentang rincian operasi al-Qaidah dalam rangka memperluas jaringannya di Asia Tenggara.
Bagaimana dengan tanggapan masyarakat? Ada yang percaya, tapi tentu ada juga yang menganggapnya bahwa berita itu adalah akal-akalannya pemerintah AS yang memiliki link kuat dengan media-media berpengaruh di dunia tersebut. Celakanya, penentu kebijakan di negeri seperti kerbau dicocok hidung, mau aja ngikutin pesan dari AS via informasi tersebut yang emang lagi bernafsu dalam kampanye memerangi apa yang mereka sebut sebagai terorisme.
Dalam kondisi seperti ini, media memang menjadi corong untuk membangun dan membentuk opini. Gawatnya, jika opini tersebut sudah diseleksi oleh pihak yang berkepentingan untuk mewujudkan keinginannya. Hasilnya, media massa telah berubah menjadi ancaman yang sangat mengerikan.
Perlukah media tandingan?
Hmm… kalo begini ceritanya, genderang perang baru sudah ditabuh. Sekarang, saatnya perang opini. Tentunya, jika kita melihat fakta, pastinya bakalan keder duluan dengan hegemoni dari kartel opini Yahudi. Mereka ada di mana-mana, dan menyerang secara sistematis. Nyaris tak ada sasaran yang kelewat. Mulai dari pasar anak-anak, remaja, sampe dewasa. Lengkap. Dan harap diinget bahwa semuanya berpotensi untuk mengubah cara pandang dan penilaian kita terhadap perkembangan yang ada. Tentunya setelah mereka menyeleksi pesan apa yang diinginkan sesuai dengan kepentingannya sebelum disebar ke pembacanya dan pemirsanya.
Kalo setiap hari kita menelan mentah-mentah info yang disebar kartel opini Yahudi, maka nggak usah kaget kalo kita kemudian jadi terpengaruh dengan opini yang dikembangkan mereka. Sementara upaya untuk membendung kekuatan jaringan opini Yahudi nyaris kepayahan. Bukan apa-apa, media kita, Islam, jauh lebih sedikit dan kalah canggih ketimbang media yang dimiliki Yahudi. Tapi tentunya tidak melemahkan semangat kita untuk menandinginya. Kita justru tambah semangat.
Memang sih pengennya, atau idealnya kita punya juga media tandingan. Untuk mewujudkannya, bisa aja para konglomerat muslim menginvestasikan dananya untuk penerbitan media Islam. Memang bukan hal mudah, buktinya sampai sekarang para investor atau orang-orang Islam yang kaya mungkin kurang begitu peduli dengan urusan kayak begini. Mungkin juga karena mereka menganggap media Islam itu tidak menjanjikan keuntungan bagi mereka. Kalau itu permasalahannya, kan bisa dicari formula bacaan yang tepat dan juga manajemen yang profesional. Lagipula, untuk urusan dakwah bukankah keikhlasan dan keseriusan menjadi prioritas?
Kalo hal itu masih dirasa sulit juga, barangkali yang paling mungkin dilakukan dalam tataran solusi praktis adalah memilih dan memilah informasi. Namun hal ini pun nggak begitu mudah, kalo kita nggak punya filter. Apa filternya? Kita kudu mengetahui mana yang salah mana yang bener. Singkatnya begini deh, selalu merujuk kepada Islam. Dan tentunya ketika mendapat info, jangan langsung telen aja. Sebaliknya kudu selalu �curiga’ terhadap info yang disebar media asing (baca; bukan Islam).
Gambaran media massa yang telah didominasi Yahudi.
Pikiran instinktif yang muncul di kalangan orang Yahudi bila ada kecaman-kecaman terhadap kelompoknya, apalagi bila datang dari pihak non-Yahudi, mereka merasa dihadapkan dengan kekerasan, ancaman, atau penindasan. “Boikot”, itulah reaksi pertama yang terpikirkan oleh kaum Yahudi bila menghadapi kecaman-kecaman tcrsebut. Tidak perduli apakah kecaman itu berasal dari surat-kabar, atau perusahaan dagang, atau bahkan dari sebuah hotel, atau dari scbuah produk manufaktur, dimana produsennya telah menggariskan kebijakan bahwa “produk saya siap dijual, tetapi bukan prinsip saya”.
Ceritera di bawah ini adalah tentang ‘boikot”, sebagai salah satu contoh menyangkut surat-kabar the New York Herald, salah satu surat kabar yang pada masanya tetap independen dari pengaruh kelompok Yahudi New York. Ceritera di bawah ini juga menggambarkan usaha tidak kenal letih dari kaum Yahudi untuk menguasai dunia pers.
Koran the Herald telah berusia 90 tahun ketika harus tutup pada tahun 1920 sebagai akibat proses amalgamasi. Koran ini sangat berpengaruh pada masanya dalam pengumpulan berita-berita dunia. Sekedar sebagai contoh, koran ini mengirimkan wartawannya Henry M. Stanley untuk mewawancarai Livingstone di Afrika, mensponsori ekspedisi Jeanette ke daerah kutub Antartika. Koran ini berperan besar dalam usaha pemasangan kabel bawah laut di Atlantik. Reputasinya di kalangan insan pers, berita atau tajuk rencana koran ini tidak bisa dibeli atau dipengaruhi oleh siapa pun. Prestasinya terutama dikenang karena untuk masa berpuluh tahun kebebasan jurnalistik koran ini mampu menahan serangan bertubi-tubi dari kelompok Yahudi New York. Pemiliknya, James Gordon Bennet, dikenang dengan kegiatan sosialnya dan selalu memelihara sikap bersahabat dengan masyarakat Yahudi di kotanya. Ia jelas tidak memendam prasangka sedikit pun terhadap mereka. Yang pasti ia tidak pernah secara sengaja memancing permusuhan dengan mereka. Namun ia dikenal bertekad untuk mempertahankan kehormatan atas kebebasan jurnalistik korannya. Ia tidak pernah menyimpang dari kebijakan dasar itu, meski kadangkala ada “pesan-pesan” yang dititipkan oleh para pemasang iklan untuk dimuat dalam tajuk korannya, atau tekanan maupun upaya mempengaruhi kebijakan pemberitaannya. Pada masa Bennet pers Amerika sebagian besar masih bebas. Kini pers sepenuhnya berada di bawah kontrol kelompok Yahudi. Kontrol ini dijalankan dengan berbagai cara. Apa pun caranya, kontrol itu ada, dan mutlak sifatnya.
Ketika sebuah skandal terjadi di lingkungan kelornpok Yahudi (dan pada peralihan abad pengaruh kaum Yahudi yang kian marak melahirkan banyak orang Yahudi yang berpengaruh beramai-ramai mendatangi kantor para pemimpin redaksi berusaha agar beritanya tidak keluar). Tetapi para pemimpin redaksi di New York tahu benar koran the Herald tidak akan menghilangkan berita itu untuk kepentingan siapa pun. Apa gunanya sebuah koran tidak menerbitkan sementara yang lain menurunkannya ? Karenanya para pemimpin redaksi sarna rnenyatakan , “Kami dengan senanghati akan menutupinya, tetapi the Herald tetap akan menurunkannya, maka apa boleh buat kami terpaksa akan menerbitkannya juga demi perlindungan-diri. Tetapi bila anda dapat menekan the Herald untuk tidak rnenurunkan berita itu, kami dengan senanghati akan melakukannya juga” .
Ternyata the Herald tidak tunduk. Tidak ada satu pun tekanan, atau sogokan, atau ancarnan yang berhasil membuatnya bertekuk lutut.
Ada seorang bankir Yahudi yang terus-menerus menuntut agar Bennet memecat redaktur bidang ekonomi-keuangan koran the Herald. Bankir itu tengah berusaha melepaskan surat-surat bond Meksiko ketika bond itu sedang terpuruk nilainya. Suatu ketika sejumlah besar bond akan dilepas ke tengah-tengah pasar yang tidak mengetahui duduk perkaranya, the Herald menurunkan ceritera tentang adanya revolusi di Meksiko yang bakal terjadi, yang kemudian memang benar-benar terjadi. Kemarahan bankir itu sudah dapat diterka, dan mengambil langkah-langkah apa pun yang dapat dilakukannya untuk mengganti redaktur ekonomi-keuangan yang menjadi sumber malapetakanya. Namun, jangankan mengganti seorang redaktur, memecat seorang pesuruh kantor pun ia tidak bakal berhasil.
Kemudian ketika sebuah skandal besar yang melibatkan seorang anggota dari suatu keluarga terpandang, Bennet lagi-Iagi menolak untuk tidak menurunkan berita itu, dengan dalih, sekiranya kejadian itu menimpa suatu keluarga dari kelompok masyarakat yang lain, ia akan tetap menerbitkannya tidak perduli apakah keluarga itu dari kalangan atas atau bukan. Kelompok Yahudi di Philadelphia berhasil menghapus berita itu dari pers, tetapi karena sikap Bennet yang tidak bergeming berita itu tidak berhasil dihilangkan dari pers New York.
Pada waktu itu sudah menjadi keinginan yang menyala-nyala dari kelompok Yahudi untuk merebut kursi Walikota New York bagi seorang Yahudi. Mereka memilih waktunya tatkala partai-partai yang bersaing sedang mengalami kekisruhan internal untuk mengajukan proposal mereka. Metoda yang mereka pakai sangat unik. Mereka berdalih koran-koran tidak akan berani menolak tuntutan pemilik gabungan department stores. Jadi mereka menulis sepucuk surat yang “sangat konfidensial” sifatnya yang mereka kirimkan kepada para pemilik surat-kabar, menuntut dukungan terhadap calon walikota mereka. Para pemilik surat-kabar itu galau. Selama beberapa hari mereka memperdebatkan langkah apa yang harus diambil. Semua terdiam. Redaksi the Herald mengirim kawat kepada Bennet yang sedang berada di luar-negeri. Pada waktu itulah Bennet memperlihatkan keberanian dan kemampuannya mengarnbil keputusan yang menjadi ciri wataknya. Ia membalas kawat itu, “Turunkan isi surat itu sebagai berita”. Surat itu diterbitkan oleh koran the Herald, keangkuhan para pemasang iklan Yahudi tereksposekan, dan kalangan non-Yahudi di New York bernafas lega dan menyambut hangat langkah itu.
The Herald menjelaskan dengan terus-terang, bahwa ia tidak bersedia mendukung seorang calon atas dasar kepentingan pribadi, karena koran itu didedikasikan kepada kepentingan umum. Tetapi para pemimpin Yahudi bersumpah akan membalas the Herald dan orang yang telah berani membeberkan permainan mereka.
Mereka memang sudah lama membenci Bennet. The Herald memang koran masyarakat New York, tetapi Bennet mempunyai kaidah hanya nama-nama dari keluarga yang benar-benar terpandang yang akan diturunkan oleh korannya. Ceritera tentang upaya orang-orang kaya-baru Yahudi yang berusaha untuk masuk kolom berita tentang “apa siapa” di koran the Herald merupakan obyek yang biasanya digarap oleh wartawan-wartawan tua.
Perang itu memuncak dalam suatu perseteruan antara Bennet dengan Nathan Strauss, seorang Yahudi-Jerman yang menjadi pemilik usaha bisnis dengan nama ‘R.H.Macy and Company’. Pendiri usaha bisnis Macy itu seorang Skot dan dari ahli warisnya Strauss membeli perusahaan itu. Strauss sebenarnya seorang filantropis (dermawan) di ghetto (kampung Yahudi), kesalahan Bennet ia tidak memuat ceritera tentang kelebihan Strauss ini yang menyebabkan timbulnya perasaan sakit hati.
Orang Yahudi tentu saja memihak kepada Strauss. Para juru-bicara Yahudi memuji-muji Nathan Strauss dan memburuk-burukan Bennet. Bennet digambarkan menjalankan / usaha yang sangat buruk “menzalimi” seorang Yahudi yang berbudi luhur. Sejak itu Straus, seorang langganan pemasang iklan kelas berat, menarik setiap dolar dari bisnisnya dari the Herald.
Sebagai satu kesatuan para pemasang iklan Yahudi menarik iklan mereka. Alasan mereka koran the Herald memperlihatkan sikap permusuhan kepada kaum Yahudi. Maksud sesungguhnya dari aksi mereka ialah menghaneurkan seorang pemilik surat-kabar Amerika yang berani mengambil sikap independen dari mereka.
Pukulan mereka memang membuat koran the Herald sempoyongan. Aksi kaum Yahudi itu berarti hilangnya pendapatan 600.000 dolar setahun. Koran New York lain akan gulung-tikar menghadapi kerugian tersebut. Orang Yahudi mengetahui benar akan hal itu, dan mereka duduk dengan sabar menantikan kematian the Herald yang dianggap sebagai musuh mereka.
Tetapi Bennet bukan seorang pecundang. Lagipula ia mengenal benar psychologi orang Yahudi lebih baik daripada orang non-Yahudi mana pun yang ada di New York. Ia membalikkan meja ke arah musuh-musuhnya dengan cara yang tidak terduga-duga dan cara yang mengagetkan. Halaman terbaik di surat-kabarnya selama ini. selalu dibeli oleh orang Yahudi. Halaman ini kemudian ditawarkannya kepada para pengusaha non-Yahudi dengan kontrak yang eksklusif.
Kini para pengusaha non-Yahudi Amerika menikmati pelayanan yang paling diimpikan pada medium iklan yang memiliki nilai yang tinggi, sementara para pengusaha Yahudi tidak lagi menikmati kesempatan itu. Karena tidak tahan membayangkan usaha mereka akan beralih ke tangan para pengusaha non-Yahudi, orang-orang Yahudi itu kembali menemui Bennet, memohon kolom-kolomnya yang semula untuk iklan mereka kembali. Ternyata “boikot” itu telah memukul dengan telak para pemboikotnya. Bennet menerima semua yang datang tanpa memperlihatkan sikap dendam. Mereka meminta posisi lama mereka dipulihkan, tetapi Bennet menjawab, tidak. Mereka bersikeras, Bennet tetap menjawab, tidak. Mereka menawarkan akan bersedia membayar lebih mahal, tetapi Bennet menjawab, tidak. Halaman iklan yang diinginkan itu telah tertutup.
Bennet menang, tetapi di kemudian hari terbukti kemenangan itu harus ditebusnya dengan mahal. Setiap saat Bennet menolak mereka, orang Yahudi sementara itu tumbuh makin kuat di New York, dan di dalam benak mereka ada keyakinan bahwa memiliki kontrol terhadap jurnalisme di New York berarti menggenggam kontrol atas pikiran orang di seantero Amerika.
Jumlah surat-kabar berangsur-angsur berkurang karena merger. Seorang yahudi Philadelphia bernama Adolph S. Oehs mengambil-alih koran the New York Times. Dalam waktu yang tidak terlalu lama ia berhasil membuat korannya menjadi besar, hanya saja koran ini memiliki bias mengabdi bagi kepentingan kaum Yahudi. Kualitas jurnalisme pada the Times membuatnya sukses sebagai ttrompet masyarakat Yahudi. Dalam koran ini orang Yahudi disanjung-sanjung, dipuji-puji, dan dibela mati-matian; ras yang lain tidak mendapatkan hal seperti itu.
Kemudian Hearst mas uk gelanggang – ia seorang agitator (penghasut) yang berbahaya, karena ia tidak saja beragitasi di bidang yang keliru, tetapi ia juga beragitasi terhadap klas masyarakat yang keliru. Ia dikelilingi oleh orang-orang Yahudi, memberi mereka hadiah, pura-pura bekerja sarna dengan mereka, tetapi tidak pernah memberi-tahukan keadaan yang sebenarnya kepada mereka.
Kecenderungan untuk membangun kontrol pers oleh kelompok Yahudi makin kuat, dan berlanjut terus sejak itu. Nama-nama lama, yang dibangun oleh para redaktur lama dengan kebijakan mengabdi kepada kepentingan Amerika lambat laun sirna.
Sebuah surat-kabar didirikan didukung oleh pikiran pimpinan redaksi yang hebat, dalam hal mana pendirian itu merupakan ekspresi dari kepribadian yang kuat, atau surat-kabar itu menjadl di-institusionalisasikan pada suatu kebijakan dan menjadi sebuah usaha komersial. Pada perihal yang kedua, kesempatan untuk berlanjutnya kehidupan surat-kabar itu melampaui pendirinya akan lebih kuat kemungkinannya.
The Herald adalah Bennet, dan sepeninggalnya tidak dapat dihindari kekuatan dan jiwa dari surat-kabar itu akan turut hilang pula. Bennet yang makin hari makin tua khawatir, sesudah ditinggalkannya surat-kabarnya akan jatuh ke tangan orang Yahudi.
Bennet meneintai the Herald sebagaimana ia meneintai anaknya. Karena itu ia menuliskan sebuah wasiat agar the Herald tidak akan jatuh menjadi milik perorangan. Bennet meninggal pada bulan Mei 1919. Orang-orang Yahudi, musuh bebuyutan the Herald yang menunggu saat-saat itu dengan siaga, sekali lagi menarik iklan-iklan mereka dengan harapan, kalau mungkin, surat-kabar itu dijual. Mereka mengerti benar kalau the Herald menjadi usaha yang merugi, para pemegang mandat dari surat-kabar itu akan menjualnya dan tidak akan memperdulikan wasiat Bennet. Tetapi ada juga kepentingan-kepentingan di New York yang melihat bahayanya bilamana pers dikuasai oleh orang Yahudi. Kepentingan-kepentingan itu memberikan sejumlah uang agar the Herald dapat dibeli oleh Frank A. Munsey.
Tetapi semua terkejut ketika Munsey menghentikan koran tua yang berani itu, dan mengganti namanya dengan nama baru, the New York Sun. Koran yang dibesarkan oleh Bennet itu punah. Orang-orang yang turut membesarkannya berhenti dan keluar dari dunia persurat-kabaran, sedang mereka yang bertahan, kalau tidak pensiun, meninggal dunia.
Penguasaan Media Elektronika
Kecenderungan deregulasi oleh pemerintah di seluruh dunia di bidang industri telekomunikasi menghasilkan bukannya persaingan yang kian meningkat, tetapi justeru gelombang pasang-naik merger perusahaan, disertai pengambil-alihan usaha pers yang menghasilkan multi-miliar dolar konglomerasi media. Dunia layar kaca, apakah dari suatu stasiun nasional atau melalui piringan satelit, atau saluran kabel, apakah film di gedung bioskop atau dalam bentuk VCD (video-cassette disc) di rumah; mendengarkan musik dari radio swasta niaga setempat, membaca koran, majalah, atau buku – sangat besar kemungkinannya informasi atau hiburan yang diterima tadi adalah produk atau didistribusikan oleh salah satu dari mega-usaha Yahudi di bawah ini.
Michael Eisner
Konglomerat media terbesar saat ini adalah Walt Disney Company, dimana pimpinan eksekutifnya, Michael Eisner seorang Yahudi. Kerajaan Disney dikepalai oleh seseorang yang oleh salah satu analis media disebutkan sebagai “tukang kontrol”, termasuk beberapa perusahaan produksi teve (Walt Disney Television, Touchstone Television, Buena Vista Television), jaringan teve kabelnya, termasuk di Indonesia, meliputi 14 juta pelanggan, dan dua perusahaan yang memproduksi video.
Harvey Weinstein, pemilik Miramax Films
Karenanya jangan heran bila siaran CNN mengenai negara-negara yang tidak sehaluan dengan Israel, terutama negara-negara Islam atau komunitas muslim, akan selalu diplintir. Orang-orang dengan wajah dan latar-belakang Timur Tengah atau muslim senantiasa digambarkan sebagai “bandit”, bengis, culas, tidak dapat dipercaya dan berkubang dalam kegiatan terorisme. Demikian pula dengan jaringan media-cetak, radio, teve milik Rupert Murdoch, yang juga seorang Yahudi. Murdoch mengkhususkan diri pada pers ‘kuning” dengan berita-berita yang ‘jalang’. Sasarannya ini tidak terlalu mengejutkan bila dikaitkan dengan missi dari Illuminati yang bertujuan untuk mengacaukan moral di kalangan masyarakat ‘goyyim’ .
Memang sih, kalo pengen benar-benar optimal, yang harus kita lakukan adalah menggalang kekuatan bersama dari seluruh kaum muslimin di dunia ini untuk membangun kesadaran dalam menyatukan pikiran dan perasaan, serta aturan. Kapan dimulainya? Sekarang dong.?  Jadi, mari ubah individu dengan melakukan perubahan terhadap masyarakat. Kita bangun kembali masyarakat Islam dalam sebuah negara yang akan mampu melawan seluruh hegemoni kekuatan asing; tidak saja Yahudi, tapi seluruh kekuatan yang menghalangi Islam bakalan dilibas.. bas..bas. Yes, We are the champion my friends!